Archive for November 2012
Tahu Nggak Sih? Asal Mula Istilah "Narsis"?
Narsisus tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi obyek kekagumannya sampai mau menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau dan akhirnya mati. Para dewa merasa kasihan padanya, sehingga Narsisus ditranformasikan menjadi tumbuhan berbunga yang diberi nama Narsisus berwarna kuning cerah, dan dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil. Mitologi ini digunakan dalam Psikologi pertama kalinya oleh Sigmund Freud (1856-1939) untuk menggambarkan individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Freud menamakan “The narsissists” dan pelakunya disebut individu narsisistik atau seorang narsisis (http://www.psikologiums.net).
Lebih lanjut Fromm berpendapat, narsisme merupakan kondisi pengalaman seseorang yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang yang masih ada hubungan dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang tidak menjadi bagiannya senatiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak memiliki arti, dan karenanya tidak perlu dihiraukan. Bahkan, ketika yang lain itu dianggap sebagai ancaman, apa pun bisa dilakukan, melalui agresi sekalipun (Pikiran Rakyat, 14/04/2003).
Menurut Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000), orang yang narcissistic atau narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Menurut Rathus dan Nevid (2000) dalam bukunya, Abnormal Psychology orang yang narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian (Kompas, Jumat, 01 April 2005).
Sedangkan menurut Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.
Lebih lanjut menurut Menurut Sadarjoen (2003) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya, The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat, dan kurang rasional. Kedua aspek terakhir inilah yang paling kuat memicu narsisme yang berefek gawat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku narsistik ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik.
Artikel Narsis, Pengertian dan Definisinya pertama kali diterbitkan dunia psikologi pada 13 Desember 2008.
Kumpulan Sholawat 99 - Habib Syech Abdul Qodir Assegaf
Kumpulan MP3 Sholawat Dari Habib Syech ini akan terus kami tambahkan hingga mencapai 99 Buah. dan selanjutkan akan kami buat kumpulan MP3 habib Syech baru versi ke 2.
Maka dari itu semoga Allah memberikan rahmat dan jalannya.
Dalam Kumpulan sholawat ini baik diambil dari secara album maupun Live Show Ahbabul Musthofa dari berbagai sumber. Berikut Daftar lagu dan Link Download MP3 Gratis :
01 Ya Habib.mp3
02 Qowiyah.mp3
03 Ya Alloh Biha.mp3
04 Maqoshidna.mp3
05 La ilaha Ilallah.mp3
06 Ya 'ala baitin nabi.mp3
07 Yaa Arhamarrahimiinn.mp3
08 Busyrolanaa.mp3
09 Dunuunii.mp3
10 Lighoiri Jamalikum.mp3
11 Maulana Yaa Maulanaa.mp3
12 Qod Tamammallahu maqosyidana.mp3
13 Habib Syech - Sholawatullohi Taghsya.mp3
14 Yaa Dzaljalaali Wal Ikraam.mp3
15 Yaa Laqolbi.mp3
16 Yaa Latifa Bil'ibad.mp3
17 Yaa Maulidal Musthofa.mp3
18 Yaa Rasulalloh Salamun Alaik.mp3
19 Yaa Robbi Makkah.mp3
20 Yaa Robbibil Musthofa.mp3
21 Yaa Nabi Salam.mp3
22 Yaa Maulidal Musthofa.mp3
23 Yaa Syayyidarrasul Yaa Tohir.mp3
24 Yaa Robbi Yaa AlimulHal.mp3
25 Bi Rojauka.mp3
26 Bijahil Musthofalmuchtar.mp3
27 Binafsi Afdii.mp3
28 Allaahu Allaah.mp3
29 Ahlan wasahlan Binnaby.MP3
30. Yaa Rabbama.mp3
31. Qod Kafaanii Ilmu Robbi.mp3
32. Yaa Rabbila'liman.mp3
33. Ilaahi Nas'aluka.mp3
34. Sholatun (Vol.7).mp3
35. Miftahul Jannah (Vol.7).mp3
36. Ya Hadi (Vol.7).mp3
37. Allahumma (Vol.7).mp3
38. Marhaban ya Nurol'aini (Vol.7).mp3
39. Burdah (Vol.7).mp3
40. Ya Kaadul (Vol.7).mp3
41.Alfa Shollalloh (Vol 6).mp3
42.Khoirol Bariyah (Vol 6).mp3
43.Assalamu 'alaik (Vol 6).mp3
44.Sholawat Badar (Vol 6).mp3
45.Thola'albadru (Vol 6).mp3
46.Khobiri (Vol 6).mp3
47. Alfa Sholallah (Live Mataram).mp3
48. Allahumma Sholli Ala Muhammad (Live Mataram).mp3
49. Tholama Asyku (Live Mataram).mp3
50. Ya Waridal (live Mataram).mp3
51. Allahumma Sholli 'ala Muhammad (Live Sragen).mp3
52. Pra-Annabi Shollu 'Alaih (Live Sragen).mp3
53. Pra-Shallallahu 'ala Muhammad (Live Sragen).mp3
54. Pra-Qod tamammallah (Live Sragen).mp3
55. La Ilaha Illallah (Allah-Allah)- (Pertamina Bersholawat).mp3
56. Sholatun Bissalamil Mubin (Pertamina Bersholawat).mp3
57. Ya Badrotim (Pertamina Bersholawat).mp3
58. Sholli wa Salim (Pertamina Bersholawat).mp3
59. Assalamu 'Alaik Zainal Anbiya' (Pertamina Bersholawat).mp3
60. Ya Habib (Pertamina Bersholawat).mp3
61. Ya Laqolbin (Pertamina Bersholawat).mp3
62. Ya Rasulullah Ya Nabi (Pertamina Bersholawat).mp3
63. Syi'ir - Syi'iran (Syair tanpo Waton) - Habib Syech (Live Kudus 2011)
64. Ya Hanana - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
65. Solatun - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
66. Ya Habibana Sya'ailillah - Habib Syech (Live Kudus 2011)
67. Ya Rasulallah - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
68. Ya 'Ala Golbin - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
69. Ya Habibi - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
70. Ya Habibana - - Habib Syech (Live Kudus 2011).mp3
Untuk selanjutkan akan menyusul. Demikian Persembahan dari Kami. Semoga Bermanfaat
Ibu, Pandanganku Mencarimu
Anak itu terus saja meronta, merengek menolak diajak ibunya ke rumah pamannya.
“Bu, Amin nggak mau Bu. Amin nggak mau. Amin nggak mau ke rumah
paman.” Katanya sambil terus menangis dan memukul-mukul lengan kiri
ibunya.
“Amin nggak mau Bu, huk…huk…Amin nggak mau tinggal di rumah paman Bu,
Amin mau tinggal sama ibu, huk…huk…huk…” Ia masih terus menangis hingga
menjadi pusat perhatian para penumpang bus lainnya.
Sementara sang ibu hanya diam, pandangannya menatap ke luar jendela
bus, matannya basah dan sedikit memerah. Ia berpura-pura tak perduli
pada anaknya yang baru berusia sembilan tahun itu, padahal hatinya
begitu iba melihat anaknya yang terus saja menangis. Ia juga tak mau
berpisah dengan anaknya, dan tentu saja berat baginya untuk menitipkan
anaknya di rumah adik suaminya yang tempatnya jauh dari tempat
tinggalnya. Namun apa boleh buat, sepertinya tak ada pilihan lain.
Karena baginya kenakalan anak bungsunya ini tak dapat lagi ditoleransi.
Yah, ia berharap perilaku anak bungsunya ini akan berubah setelah
tinggal bersama pamannya yang seorang tentara.
Ibu itu masih terdiam, bibirnya yang tertutup terlihat bergetar
menahan tangis. Ia mencoba sebisa mungkin menguatkan diri, mencoba
menghilangkan rasa iba pada anaknya. Ia ingin anaknya berubah, berubah
menjadi anak yang baik, yang tak lagi melakukan kenakalan-kenakalan yang
merugikan orang lain. Karena sudah terlalu banyak kenakalan yang
dilakukannya, sudah terlalu banyak orang yang dirugikannya. Ia ingat
betul kenakalan terakhir yang dilakukan anak bungsunya ini, saat ia
merusak mainan mobil remote control milik temannya karena tak diijinkan
meminjamnya. Tak hanya itu, ia juga memukul temannya itu sampai
hidungnya berdarah. Dan karena ulah anaknya ini sang ibu harus mengganti
mobil remote control yang telah dirusak anaknya sebesar dua ratus ribu
rupiah serta biaya dokter seratus ribu rupiah. Baginya yang seorang
janda dan hanya bekerja sebagai buruh cuci uang segitu adalah jumlah
yang besar. Apa lagi saat ini ia sedang sangat membutuhkannya untuk
biaya pendaftaran anaknya yang satu lagi ke SMA. Tapi bukan uang yang
membuatnya terpaksa menitipkan anaknya di rumah adik suaminnya. Ia hanya
tak mau anaknya tumbuh menjadi orang yang suka merugikan orang lain.
“Bu…, Amin mau pulang Bu…, Amin mau tinggal sama ibu…huk…huk…huk…”
Tangisan anaknya menyadarkannya dari lamunan, di usapnya air mata yang
tak ia sengaja mengalir di kedua belah pipinya. Sementara beberapa
penumpang bus masih memperhatikannya, entah? Apa yang ada dalam benak
pikiran mereka. Namun tak sedikit pula yang acuh tak acuh, seperti juga
sang sopir yang tetap berkonsentrasi dalam mengemudi tak perduli
sedikitpun dengan permasalahan-permasalahan yang sedang dialami para
penumpangnya. Sehingga bus terus melaju.
Wuzzzz…….
***
Mereka telah sampai ke tempat yang mereka tuju, sebuah rumah berukuran
kurang lebih tuju puluh meter persegi dengan halaman yang luas dan di
pagari tembok setinggi satu setengah meter. Rumah seorang Tentara, duda
dengan satu anak lelaki berusia dua puluh tiga tahunan. Yang sudah
menunggu kedatangan mereka dari tadi di beranda rumahnya.
“Bagaimana perjalanannya, lancar?” Kata sang paman menyambut kedatangan Amin dan ibunya.
“Lancar.” Jawab sang ibu. Sementara amin hanya terdiam, sesenggukkan karena kelelahan menangis.
“Ayo kita masuk dulu!” Sang paman menawarkan dengan ramah, tak
terlihat sedikitpun kalau ia seorang tentara yang hidupnya keras dan
sarat dengan kedisiplinan.
“Nggak perlu, saya langsung pulang saja. Takut kemalaman sampai rumah.” Jawab sang ibu.
“Saya titip Amin, tolong didik ia agar menjadi anak yang rajin.., yang disiplin!” Lanjut sang ibu.
“Oh…, yah sudah terserah Mba saja.” Kata sang paman.
“Ini semua keperluan Amin sudah saya siapkan dalam tas.” Kata sang ibu
sambil menyerahkan tas ransel besar kepada adik suaminya.
“Saya mohon pamit!” Sang ibu menjabat tangan adik suaminya kemudian melangkahkan kaki meninggalkan rumah itu.
Amin tak membiarkan ibunya pergi, ia menggenggam erat-erat bagian
bawah baju ibunya. Ia tak berkata apapun, nafasnya masih
terengah-engah. Kemudian sang ibu melepaskan genggaman jari-jari
anaknya dari bajunya dengan perlahan. Kemudian menggenggam tangan
anaknya dan memandang lekat-lekat anak bungsunya dengan mata
berkaca-kaca seraya berkata,
“Amin, dengarkan ibu! Percayalah ibu akan selalu menyayangi Amin,
makanya Amin harus janji sama ibu, Amin akan jadi anak yang baik..,anak
yang berprestasi. Amin baik-baik tinggal di sini yah! Dengarkan
kata-kata pamanmu. Dan berjanjilah pada ibu, Amin tidak akan kabur dari
sini.., Amin jangan kembali ke rumah, biar ibu atau kakakmu saja yang
menemuimu kesini! Janji yah!”
Amin hanya mampu mengangguk. Ia masih sesenggukkan, berusaha menghentikan tangis.
“Sekarang ibu pulang dulu, Amin jaga diri yah! Jangan nakal!” Sang ibu
memalingkan tubuhnya berjalan meninggalkan rumah itu.
Amin terus saja menatap punggung ibunya yang perlahan menjauhinya dan menghilang dari pandangannya.
“Sudah..,nggak perlu menangis, ayo masuk!” Sang paman dengan ramah
mengajak anak itu masuk. Tangan kanannya yang kekar menepuk-nepuk sayang
bahu kanan Amin.
Tetapi Amin tak memperdulikan ucapan pamannya, ia masih saja berdiri
di beranda rumah pamannya. Pandangannya menatap lurus kearah pintu
pagar, berharap ibunya kembali, membatalkan niatnya dan membawanya
kembali untuk tinggal bersama di rumahnya seperti biasa.
Sang paman memaklumi tingkah keponakannya itu, ia tahu betul apa yang
saat ini sedang dirasakan Amin. Hingga ia pun membiarkan saja apa yang
dilakukan Amin, ia meninggalkan anak itu sendirian di beranda.
Langit tak lagi biru, matahari telah siap kembali ke tempat
peraduaannya, sementara Amin masih berdiri di beranda rumah pamannya
dalam posisi yang sama. Masih menatap lekat-lekat pintu pagar, dan masih
dengan harapan yang sama, berharap ibunya datang untuk menjemputnya.
Pamannya yang sejak tadi memperhatikannya dari ruang tamu merasa iba,
matanya berkaca-kaca, hingga akhirnya ia keluar menemui keponakannya.
“Sudahlah! Ayo masuk! Sudah sore, besok kamu harus sekolah di tempat
yang baru, kamu perlu cukup istirahat!” Sang paman merangkulnya,
mengajaknya masuk kerumah.
***
Ia sedang duduk di atas tempat tidur saat sang paman membuka pintu
kamarnya, kedua tangannya memeluk erat kedua kakinya yang ia tekuk.
Semalaman ia tak tidur, terus memikirkan ibunya.
“Amin, ayo mandi dan kenakkan seragam sekolahmu. Setelah sarapan Paman
akan mengantarmu ke sekolah barumu.” Perintah sang paman.
Ia bergegas menjalankan perintah sang paman karena ia sudah berjanji
pada ibunya untuk mematuhi kata-kata pamannya. Ia mandi, mengenakkan
seragam sekolahnya, kemudian beranjak meninggalkan kamarnya menuju meja
makan untuk sarapan bersama paman dan saudara sepupunya. Setelah itu ia
diantar pamannya dengan sepeda motor ke sekolah barunya.
Ia memasuki kelas barunya di dampingi gurunya, kemudian sang guru
mempersilahkanya untuk memperkenalkan diri di hadapan teman-temannya.
Tapi ia hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun. Akhirnya sang
gurulah yang meperkenalkannya kepada teman-temannya,
“Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kalian! Namanya Muhammad Amin
Rifa’i, atau biasa dipanggil Amin.” Kata sang guru yang kemudian
mempersilahkan Amin duduk.
Amin duduk di bangku pojok sebelah kanan kelas, matanya terus menatap
keluar jendela. Pikirannya terus saja membayangkan ibunya sampai bel
tanda sekolah berakhir berbunyi. Teman-temannya sibuk membenahi
buku-buku mereka ke dalam tas, sementara Amin.., sejak tadi pagi tak
satu bukupun yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Ia berjalan dengan
menunduk meninggalkan kelas. Pamannya sudah menunggu di depan sekolah
untuk menjemputnya. Dalam perjalanan pulang pamanya berkata kepadanya,
“Besok kamu berangat sendiri ke sekolah, paman akan membelikanmu sepeda!”
Ia hanya mengangguk.
Sesampainya di rumah pamannya kembali berkata,
“Ganti pakaianmu kemudian makanlah, setelah itu kamu boleh melakukan
apa saja. Tapi nanti malam kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh!”
Kata pamannya yang mulai menerapkan disiplin.
Seusai makan ia menghabiskan waktu luangnya untuk berdiri di beranda
rumah pamannya. Matanya menatap ke arah pintu pagar, berharap
pandangannya menemukan sosok wanita setengah baya yang datang untuk
menemuinya. Hatinya terus berharap, ia tak pernah putus asa, karena
memang Tuhan tidak menitipkan sifat putus asa pada anak-anak, hanya
orang-orang dewasalah yang suka berputus asa. Dan ketika langit mulai
gelap ia tahu bahwa ibunya tak datang. Ia tak kecewa.
“Mungkin bukan hari ini, mungkin saja besok” Gumamnya dalam hati.
***
Tiga bulan telah berlalu. Tapi Amin benar-benar tak kenal putus asa,
ia tak pernah lelah berdiri di beranda rumah pamannya untuk
menghabiskan waktu luangnya. Pandanganya pun tak pernah lelah mencari
sosok ibunya di depan pintu pagar rumah pamannya. Hari ini hari ulang
tahunnya, ia berharap, hari inilah saatnya. Ia yakin, pasti hari ini
wanita itu datang. Hingga setelah dua jam lebih ia berdiri di beranda ,
pandangannya menemukan yang selama ini ia cari, yah, ibunya. Wanita
setengah baya itu berjalan menghampirinya dengan tersenyum dan mata
berkaca-kaca. Spontan Amin berlari, ingin sekali rasanya ia memeluk
tubuh wanita itu. Kemudian ia menangis dalam pelukan ibunya
sejadi-jadinya.
Senja tiba. Setelah seharian menemani anaknya, sang ibu harus kembali
ke rumahnya. Ia memeluk anaknya erat-erat sebelum beranjak pergi,
bibirnya bergetar, membisikan sesuatu di telinga anaknya,
“Amin…, baik-baik yah di sini. Rajin-rajin belajar, buat ibu bangga.
Amin di sini saja tak perlu kemana-mana! Nanti ibu akan menemuimu lagi,
dan saat itu tiba Amin harus sudah menjadi anak yang berprestasi!
Janji yah!”
Kembali Amin hanya mampu mengangguk, nafasnya terengah-engah menahan tangis.
Sang ibu berjalan meninggalkan ia pergi, berulang kali ia menoleh
melihat anaknya. Sementara Amin juga menatap tubuh ibunya lekat-lekat,
tubuh yang selalu ia rindukan siang dan malam.
Di hari berikutnya Amin masih dengan kebiasaannya berdiri menunggu
ibunya di beranda rumah pamannya. Meskipun ia tahu, bahwa ibunya takan
kembali secepat itu. Tapi ia tak perduli, karena memang hanya itulah
usaha yang bisa ia lakukan untuk bertemu dengan ibunya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dua
tahunpun berlalu. Namun, ibunya tak pernah sekalipun datang lagi
menemuinya. Tapi ia tak putus asa, ia masih selalu setia berdiri
menunggu ibunya di beranda rumah pamannya. Pandangannya masih saja
mencari-cari sosok wanita setengah baya itu, dan ia tak menemukannya.
Akan tetapi pandangannya menemukan sosok anak lelaki yang ia kenal
wajahnya, ia kakaknya. Ia berjalan menghampiri kakaknya, begitu juga
kakaknya, kemudian keduannya berpelukkan.
Amin memeluk kakaknya kuat-kuat, ia sangat rindu kepadanya meskipun
tak sebesar rindunya pada ibunya. Sesaat kemudian ia melepaskan pelukan
kakanya dan bertanya,
“Ibu mana Kak?” Tanyanya sambil menyeka air matanya.
“A….anu… I..ibu tidak bisa datang.” Jawab kakaknya gagap.
“Apa ibu sakit Kak?”
“Tidak., malah ibu titip pesan, katanya kamu harus rajin belajar.”
“Oh…” Ia sedikit kecewa.
Kebetulan hari ini hari minggu, ia bermain seharian bersama kakaknya satu-satunya.
***
Hari ini tepat enam tahun lebih empat bulan sejak ia tinggal di rumah
pamannya. Hari ini ada acara pelepasan siswa-siswa kelas tiga di
SMPnya. Hampir seluruh orang tua siswa hadir dalam acara ini. Seorang
guru muda, tampan, penuh karisma menjadi pembawa acaranya.
“Para Bapak, Para Ibu, dan Anak-anakku sekalian. Acara selanjutnya
adalah penyerahan Piala untuk murid terbaik di sekolah kita ini yang
telah membuat harum nama sekolah ini. Berbagai prestasi telah berhasil
ia raih, di antaranya: ia telah berhasil menjadi juara satu lomba
Matematika tingkat Provinsi, juara satu murid teladan tingkat SMP
sekota”X”, dan ia juga peraih nilai UAS tertinggi pelajaran Matematika.
Bersama kita sambut….! Muhammad Amin Rifa’i.” Kata pembawa acara yang
di sambut dengan tepuk tangan para hadirin.
Amin berjalan menuju panggung. Bapak Kepala sekolah telah berdiri di
atas panggung siap memberikan Piala juara satu lomba Matematika tingkat
provinsi. Saat serah terima, beberapa orang guru memotretnya untuk
didokumentasikan. Kemudian pembawa acara memintanya untuk menyampaikan
beberapa kalimat. Namun ia hanya diam, matanya menatap setiap sudut
kursi pengunjung. Kembali pandangannya mencari sosok ibunya, berharap
sosok wanita setengah baya itu hadir, menatapnya dengan tersenyum,
bangga akan prestasi anaknya. Tapi tak ia temukan keberadaannya di sana.
Yang terlihat hanya sosok paman dan kakaknya yang duduk di barisan
paling belakang.
Suasana hening menemani kebisuannya. Mereka yang hadir menatap wajah Amin lekat-lekat.
“Semua ini,
“Untuk ibuku.” Hanya itulah kata yang Amin ucapkan.
Amin kembali ke tempat duduknya di barisan depan.
Acara kembali berlanjut, pertunjukan demi pertunjukan di tampilkan.
Dan acara berakhir kira-kira pukul satu siang. Para Pengunjung
berhamburan meninggalkan tempat duduknya, begitu juga Amin. Ia berjalan
menuju barisan belakang untuk menemui paman dan kakaknya. Tetapi sang
paman sudah pergi dari tempat itu beberapa menit yang lalu, yang ia
temui hanya kakaknya. Kakaknya memandang Amin dengan perasaan haru,
matanya yang basah terus menatap Amin yang berjalan mendekatinya, ia
begitu bangga dengan prestasi adiknya itu.
“Kamu hebat Min, kakak bangga punya adik sepertimu.” Kata sang kakak kepada adiknya yang sudah berada di hadapannya.
“Ibu mana Kak?” Tanya Amin dengan wajah yang murung.
Seketika tubuh kakaknya terasa lemas mendengar pertanyaan adiknya itu,
entah mengapa? Padahal pertanyaan itu sudah berulang kali ia dengar
dari mulut adiknya. Tapi hari ini pertanyaan itu ia rasakan sangat
berbeda, pertanyaan itu seakan batu besar yang membebani punggungnya.
Hingga perasaan bahagia melihat prestasi adiknya lenyap begitu saja,
menguap entah kemana?.
“Kenapa ibu tak menemuiku Kak? Apa kau tak pernah mengatakan padanya
bahwa anaknya Amin telah menjadi anak yang berprestasi, apa kau tak
katakan bahwa anaknya Amin sekarang anak yang rajin?”
Kakaknya diam mematung, lidahnya terasa kelu untuk ia gerakan.
“Kenapa Kak? Katakan!!! Kenapa Ibu tak menemuiku? Apa ia tak percaya
bahwa anaknya Amin kini tak lagi nakal? Apa ia tak percaya kalau anaknya
Amin kini berprestasi?” Lanjut Amin memelas, mengharap belas kasihan.
“Jika ibu masih tak percaya, bawalah piala ini Kak!!! Tunjukan
padanya! Dan suruh ia menemuiku Kak! Kumohon padamu!!! Suruh ia menemui
Amin anaknya!!! Katakan padanya, anaknya merindukannya!”
Tak ada suara. Hening udara gerah. Semua yang ada di sekitar mereka seakan menghilang.
“Ma..maafkan kakak Min!” Sang kakak menundukan kepala,perasaan
bersalah membuat ia tak mampu menegakkan kepala di hadapan adiknya.
“Maafkan Kakak, selama ini kakak telah membohongimu. Semua janji ibu
yang ku ceritakan padamu hanyalah dusta belaka, karena……..” Sang kakak
ragu melanjutkan ceritanya.
“Karena apa Kak?” Tanya Amin dengan volume suara sepenuhnya.
“Karena….karena…. ibu sudah meninggal enam tahun yang lalu. Semenjak
berpisah denganmu ibu sering murung. Di saat waktu makan ia melamun, dan
saat aku menyadarkannya untuk menyuruhnya segera menghabiskan
makananya, ia malah bertanya padaku: ”Zam, apa di rumah paman, adikmu
Amin makan dengan lahap seperti biasanya?
“Dan saat malam dimana seharusnya ibu beristirahat, ia malah duduk
melamun di bekas tempat tidurmu, dan saat aku menyuruhnya untuk segera
beristirahat, ia malah bertanya: “Zam, apa di rumah paman, adikmu Amin
tidur dengan nyenyak?
“Kemudian aku pernah melihat ibu menangis saat melihat anak-anak
tetangga sedang bermain. Saat kutanya mengapa ibu menangis, ia malah
balik bertanya: “Zam, apa adikmu Amin punya teman di sana, apa pamannya
akan menggendongnya saat ia menangis seperti ibu biasa menggendongnya
saat berusaha menghentikan tangisannya?”
“Lama kelamaan ibu sakit. Dan sebelum meninggal ibu pesan agar kakak
tak menceritakan kematiannya padamu, ia hanya menyuruh jika kamu
menanyakannya bilang saja: “Ibu akan menemuimu jika kamu tak lagi nakal
dan sudah berprestasi.”. Maafkan kakak Min!” Sang kakak berhenti
bercerita, diusapnya kedua pipinya yang basah karena air mata.
Mendengar cerita dari kakaknya Amin merasa aliran-aliran darah dalam
tubuhnya tak mau lagi bergerak. Tubuhnya terasa tak bertenaga.
Sementara semua yang ada di sekitarnya, serasa meninggalkannya,
menghilang entah kemana? membiarkannya sendiri di atas permukaan bumi,
sepi. Ia merasa sangat kecil, kerdil dalam pandangan langit. Perasaan
bangga yang sempat ada yang ingin ia tunjukan kepada ibunya, menguap
bersama harapan-harapannya melihat senyum bahagia ibunya.
“Bu, tahukah kau? Bertahun-tahun pandanganku mencarimu.”
Hinata
"Hinata", setiap orang yang mendengar namanya pasti menebak itu nama orang jepang.
Memang
benar, ia lahir di jepang tapi di besarkan di Indonesia. Ayahnya orang
Indonesia sedangkan ibunya asli orang jepang. Aku mengenalnya saat
hari pertama aku masuk SD. Saat itu di belakang kelasku yang sepi, aku
melihat dua kakak kelasku, entah mereka kelas berapa? Sedang meminta
uang gadis kecil berambut pendek secara paksa. Berlaga jagoan aku
mendekat, kemudian berteriak dengan lantang kepada kedua kakak kelasku,
"Hey", kembalikan uangnya!!!" Kataku yang saat itu sudah berada beberapa meter dari mereka.
Kedua
anak itu terlihat terkejut, dan mengalihkan perhatiannya padaku.
Kemudian mereka mendekatiku sampai jarak antara kami sangat dekat.
Sesaat mereka tersenyum mengejekku, dan tanpa basa-basi seorang dari
mereka melayangkan tinjunya tepat mengenai hidungku. Spontan aku
tersungkur, hidungku berdarah, tenaganya sangat besar. Tak berhenti di
situ, ia kembali melayangkan tinjunya padaku yang masih terbaring di
rumput. Kali ini tepat di bawah mata kiriku hingga meninggalkan bekas,
biru lebam. Kemudian mereka meninggalkanku begitu saja.
Gadis
kecil itu kemudian mendekatiku yang masih terbaring di atas rumput, ia
menangis melihat keadaanku. Dari tangisanya, aku yakin kalau ia anak
yang manja. Ia terus menangis hingga aku tak tega melihatnya. Akhirnya
aku berusaha menghiburnya dengan melakukan tingkah-tingkah lucu seperti
mengerutkan dahi, menggerak-gerakan alis, memoncongkan mulut, aku
berusaha menciptakan ekspresi lucu agar ia tertawa. Dan saat ia
tertawa, ia terlihat sangat… cantik. Kedua matanya yang sipit
terlihat seperti bulan sabit, bibir merahnya yang mengembang terlihat
seperti merah mawar yang baru merekah, terlihat sangat serasi dengan
hidung kecilnya yang mancung dan kulitnya yang putih merona. Sungguh,
maha sempurna Dzat yang telah mengukir wajahnya.
Melihat ia tertawa akupun ikut tertawa. Hingga sesaat kemudian suasana hening saat kami menghentikan tawa.
Dengan pipi yang memerah gadis kecil itu menatapku, kemudian mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan,
"Hinata. Hinata Hinamori." Ia memperkenalkan diri.
Aku meraih tangannya dan memperkenalkan diriku, "Aku Ilyas. Muhammad Ilyas." Kataku.
Sejak
saat itu kami jadi teman dekat, atau lebih tepat di sebut "sahabat".
Hari-hari kami lalui bersama dengan penuh kegembiraan, berlari-lari di
padang rumput di belakang sekolah, bermain bola di kubangan lumpur
dalam siraman hujan, bermain layang-layang di bawah terik mentari atau
bermain boneka, masak-masakan ataupun permainan lainnya. Apapun yang
aku lakukan bersamanya terasa sangat menyenangkan.
Persahabatan
kami terus berlanjaut sampai kami SMP. Yah, kami sekolah di SMP yang
sama, meskipun kelas yang berbeda. Tapi Kebersamaan kami tak sesering
dulu. Karena kami beda kelas? Bukan. Karena Hinata kini bukan lagi
Hinata kecil yang dulu, bentuk tubuhnya sudah mulai berubah, dadanya
yang mulai membesar, pinggulnya yang mulai melebar dan perubahan bagian
tubuhnya yang lain membuatku merasa risih berlama-lama bersamanya. Tak
hanya itu, rambutnya yang lurus dan panjang, penampilanya yang selalu
menarik, dan caranya tersenyum padaku sering kali membuatku salah
tingkah di depannya. Aku hanya takut cinta dan kasih sayangku kepadanya
sebagai sahabat akan berubah menjadi nafsu birahi yang tak terkendali.
Semakin
hari, Hinata semakin tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona. Dan
hal itu membuatku terpaksa semakin menjauh darinya. Menjauh bukan
karena aku membencinya, tetapi menjauh karena aku menghargainya
sebagaimana seorang muslim menghargai seorang wanita. Aku tak mau
menjadikan ia sebagai obyek kemaksiatan mataku, obyek pikiran kotorku
dengan dalih persahabatan. Bagiku sepert ini lebih baik. Dan, jujur hal
ini tak pernah mudah, berat bagiku.
Tak
selalu bersama Hinata membuat tiga tahun di SMP terasa lama bagiku.
Tapi hal itu tak berlaku bagi siswa yang lain, karena mereka mempunyai
cerita sendiri-sendiri. Yah, bersama atau tak bersama Hinata waktu
terus berjalan membawaku sampai pada hari pengumuman kelulusan.
Hari
itu tak banyak siswa yang berangkat sekolah, sebagian besar dari
mereka duduk manis di rumah menunggu orang tua mereka kembali membawa
selembar kertas yang mampu membuat mereka merasa sangat bahagia karena
dinyatakan lulus, namun juga mampu membuat membuat mereka berduka
karena dinyatakan tidak lulus. Hari itu aku berangkat seperti biasanya.
Aku tak masuk ke kelas karena kelas kami di penuhi para orang tua siswa
yang sedang berdebar-debar hatinya menunggu hasil kerja keras
anak-anaknya selama tiga tahun. Aku duduk menyendiri di bangku taman
depan sekolah, memperhatikan wajah orang tua teman-temanku yang lalu
lalang lewat di depanku. Tiba-tiba saja mataku menemukan sosok Hinata
di antara mereka. Ia berjalan dengan santai menuju ke luar, seperti
biasa pakaiannya sangat rapi dan modis. Ia berjalan dengan tegap
seperti petugas pengibar bendera, kakinya yang panjang silang menyilang
tangkas tak kalah indahnya dengan para supermodel yang melangkah di
atas catwalk. Rambut lurusnya yang tertiup angin membuat ia semakin
mempesona. Sesaat aku merasa setetes embun mengalir membasahi hatiku
hingga aku merasakan damai yang tak terlukiskan. Dan saat aku menatap
wajah cantiknya tiba-tiba saja ia menengok ke arahku dengan senyum yang
sangat menawan. Mata kami bertemu, saling menatap, tetapi dengan cepat
aku menunduk. "Astaghfirullohal"adzim." .Aku beristighfar dalam hati,
berusaha menenangkan detak jantungku yang saat itu berdetak sangat
kencang dan tak beraturan.
Sejak
saat itu Hinata menghilang dari kehidupanku, aku tak pernah tahu
kemana ia pergi. Kini aku hanya mampu mengenang saat-saat indah yang
kulalui bersamanya. Sering aku mencoba melupakanya, namun senyum
manisnya tak bosan-bosan hadir dalam khayalku. Terkadang aku tersenyum
mengingatnya, tetapi kemudian menangis saat sadar ia tak lagi di
sisiku. Hingga aku sadar betapa aku merindukannya dan betapa aku
mencintainya.
***
Delapan tahun berlalu begitu lama tanpanya.
Saat
itu hari Minggu, aku sendirian di rumah. Bapak, ibu dan Iqlina adikku
sedang pergi ke rumah kakek. Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi
jika aku ikut pergi siapa yang akan menjaga rumah. Mau tidak mau, yah,
terpaksa aku jaga rumah.
Aku
duduk di kursi di ruang tamu. Membaca sebuah novel dengan judul
"Pudarnya Pesona Cleopatra" karya Habiburrahman El Shirazy. Baru
membaca beberapa lembar, tiba-tiba aku mendengar seseorang mengetuk
pintu di iringi ucapan salam. Suara anak perempuan. Aku bangun dari
tempat dudukku, meletakan buku yang sedang kubaca di atas meja dan
berjalan menuju pintu. Tangan kananku menggengam pegangan pintu,
kemudian aku membuka pintu dengan perlahan. Dan saat pintu terbuka
kulihat gadis cantik berjilbab biru tepat di depanku. Spontan jantungku
berdetak lebih cepat dari biasanya sampai-sampai otot-otot yang
mengikatnya seakan tak kuat lagi menahanya. Aku merasa seperti telah
membuka pintu surga dan menjumpai bidadari yang menghuninya.
"Astaghfirullohal'adzim"
Astaghfirullohal'adzim." Aku beristighfar dalam hati berulang kali
berusaha menenangkan diri dan menguasai keadaan.
"Maaf Mbak, Iqlinanya sedang pergi." Kataku sok tau, mengira ia teman adikku.
"Ilyas." Gadis itu menyebut namaku.
Kembali
kurasakan detak jantung yang tak beraturan. Di tambah dengan
kebingungan, bagaimana gadis cantik ini mengenalku? Apakah adikku
pernah bercerita tentangku padanya?
"Maaf Mbak siapa yah?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Wah, sombong kamu, masa lupa sih? Ini aku Hinata." Jawab gadis itu.
Mendengar
jawabanya hatiku seakan meledak, mengeluarkan serpihan-serpihan kuntum
bunga dari dalamnya dan berhamburan menghujaniku.
"Hinata?" Tanyaku yang masih ragu.
"Iya Hinata temanmu, lupa yah? Masa nggak di suruh masuk sih."Ucapnya dengan tersenyum.
Aku
berjalan menuju kursi, hinata mengikuti di belakangku, dan kami pun
duduk. Kami duduk berhadapan. Kupandang wajah gadis itu sesaat dan aku
yakin ia benar-benar Hinata, gadis jepang teman kecilku.
"Ada apa denganmu?" Tanyaku yang bingung melihat perubahan yang terjadi pada dirinya.
"Memang kenapa? Ada yang salah" Ia balik bertanya.
"Ya.., tidak sih. Tapi, tentu ada alasannya dong dengan perubahanmu?"
Tak ada suara, hening.
Hingga akhirnya ia bersuara.
"Alasannya? Karena..." Katanya yang sedikit ragu untuk melanjutkannya.
Kembali tak ada suara. Kulihat pipinya memerah menahan malu, sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya
"Karena..., Ka..rena.., Karna aku mencintaimu." Lanjutnya terbata, kemudian ia menundukan kepala.
Aku terperanjat. Entah rasa seperti apa yang saat itu aku rasakan, sungguh aku tak mampu menjelaskannya.
"apa hubungannya coba?" Aku yang sedikit gugup.
"Apa
kau tau, dari dulu aku mencintaimu. Aku selalu berusaha berpenampilan
menarik di depanmu, berharap kamu mau memujiku. Sembilan tahun, tak
pernah sekalipun kamu memujiku dengan mengatakan "Hari ini kamu cantik
sekali", "Bajumu bagus" atau sekedar mengatakan "Hari ini kamu terlihat
berbeda". Tak pernah..,tak pernah sekalipun. "
Tapi
saat melihat Annisa, satu-satunya siswi berjilbab dikelasku yang saat
itu membacakan Al qur'an dalam acara peringatan Isro mi'roj di sekolah,
kamu langsung memujinya. Tak hanya keindahan suaranya yang, tapi kamu
juga memuji kecantikannya hanya karena ia memakai jilbab. Dan tahukah
kamu betapa irinya aku saat itu. Sebenarnya sejak saat itu juga aku
ingin sekali memakai jilbab, berharap kamu memujiku saat melihatnya.
Tapi aku malu dan aku ragu.
"Setelah
lulus SMP aku dan keluargaku pindah ke Semarang saat itulah aku mulai
mengenakan jilbab. Aku tak malu karena aku baru di situ, tak ada orang
yang mengenalku sebelumnya. Tapi aku masih merasa kurang karena aku tak
bisa membaca Al qur'an seperti Annisa. Hingga kuputuskan untuk
melanjutkan sekolah di SMA yang berbasis Islam. Akhirnya aku bersekolah
di salah satu SMA Islam Terpadu yang ada di kota itu. Disana aku
mengenal Bu Afifah, dari beliaulah aku belajar Al qur'an. Dan dari
beliau pula aku tau tentang Islam lebih dalam, hingga aku merubah
niatku memakai jilbab, dari sekedar mengharap pujianmu menjadi niat
yang ikhlas untuk menjadi muslimah yang lebih baik.
"Dan
setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah di STAIN di Surakarta
fakultas Tarbiyah, sama seperti Bu Afifah dulu. Yah, belialu lulusan
STAIN Surakarta. Aku ingin tau tentang Islam lebih jauh lagi. Mungkin
itulah kisah hidupku saat berpisah darimu."Lanjutnya panjang lebar
Dari
tadi aku diam menyimak ceritanya. Mendengar ceritanya, kekagumanku
semakin bertambah padanya. Hingga akhirnya, akupun memberanikan diri
mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Tiga
bulan kemudian kami menikah. Persahabatan kami berlanjut kembali dalam
rumah tangga kami. Dan tahukah kamu betapa bahagianya aku, karena mata
ini tak perlu lagi diam-diam menatap kecantikannya tapi aku bisa
menatap wajah cantiknya sepuasku. Tangannya kini halal untuk ku genggam
erat-erat, dan tangganku halal untuk membelai rambut indahnya.
Terkadang
aku masih tak percaya, bahwa wanita yang menjadi jodohku adalah Hinata
gadis jepang teman kecilku. Sungguh indah rencana-Mu, ya Robb...
Hinata, Watashi wa anata o aishite.
Karena Do'a Sahabat
“Mengapa kau suka sekali menatap bintang?” Tanya Somad kepada Badrun yang masih menengadahkan kepalanya ke langit.
“Karena setiap kali aku melihat bintang harapan itu muncul dalam benak pikiranku.” Jawab Badrun yang masih asik menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit.
“Harapan?” Somad penasaran.
“Yah, harapan. Harapan akan adanya sebuah masa depan yang membahagiaan. Harapan akan adanya kemajuan, harapan akan adanya peradaban yang lebih baik, harapan menjadikan manusia-manusia yang berkualitas.” Lanjut Badrun penuh improvisasi.
“Kau ini ngomong apa sih Drun? Aku nggak ngerti? Ngomong kau itu Loh…., ribet banget kayaknya.” Kata Somad sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanannya,kebingungan.
“He…he…he… biar kelihatan keren aja. Maksudku begini, setiap aku melihat bintang muncul sebersit harapan dalam benak pikiranku untuk menjadikan desa kita menjadi desa yang lebih baik. Lebih baik di bidang kesehatan, pendidikan, maupun bidang-bidang yang lainnya.” Badrun mencoba menjelaskan.
“Oh…begitu. Kenapa cuma harapan? Kenapa nggak kita jadikan saja semua itu menjadi kenyataan?”
“Maksudmu?”
“Bapakku pernah bilang padaku:”Nak, jika engkau mempunyai sebuah harapan maka jadikanlah harapan itu doa. Dan teruslah memanjatkan doamu itu, karena percayalah setiap doa yang telah kita usahakan dengan maksimal pasti akan dikabulkan. Akan tetapi tak semua doa dikabulkan presis seperti yang kita minta.” Kemudian aku bertanya pada bapakku: “Apa maksud Bapak?” Kemudian beliau menjelaskan Bahwa doa itu dikabulkan dalam bentuk tiga macam:
-Yang pertama, doa itu dikabulkan presis sperti apa yang kita minta. Contoh: Kita berdoa agar bisa mempunyai rumah kemudian Alloh mengabulkannya dengan menjadikan kita mampu membuat rumah.
-Yang kedua, doa kita dikabulkan tidak seperti apa yang kita minta tetapi Alloh mengabulkannya dengan hal lain yang sama manfaatnya. Contoh: Kita berdoa agar bisa mempunyai rumah, tapi ternyata seumur hidup kita tak mampu membuat rumah, kita hanya mampu mengontrak rumah. Secara tidak lansung kita bisa merasakan manfaat sebuah rumah meskipun kita tidak memilikinya.
-Kemudian yang ketiga, doa itu tidak dikabulkan di dunia tetapi Alloh memberi ganti yang lebih baik di Akhirat kelak.” Sekarang kau tahu kan maksudku?” Jelas Somad panjang lebar.
“Maksudmu kita jadikan harapan tentang adanya peradaban yang lebih baik di desa kita ini menjadi doa. Kemudian berusaha semaksimal mungkin mewujudkanya?” Tanya Badrun.
“Tepat sekali.” Jawab Somad santai.
“Caranya?”
“Apa kau tahu di sebrang laut sana ada sebuah tempat dimana kita bisa mempelajari berbagai macam ilmu. Kita pergi saja kesana untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin, kemudian setelah kita berhasil kita kembali lagi ke desa ini dan mengajarkan apa yang kita ketahui di desa ini.” Somad mencoba memberi solusi.
“Apa kamu yakin kita mampu?”
“Mungkin kita tak mampu, tapi dengan pertolongan Alloh kita mampu. Percayalah!!!”
“Baiklah, aku percaya.”
Kemudian mereka menyusun rencana, rencana untuk membawa harapan menuju kenyataan.
_‘REVOLUSIONER SEJATI’_ kata itu sangat pantas mereka sandang.
****
Hari yang ditentukan tiba.
Pagi itu matahari bersembunyi malu di balik bayang-bayang gunung, yang terlihat hanyalah serpihan-serpihan cahaya jingganya. Kawanan burung Bangau terlihat rapat dalam barisan, berduyun-duyun mencari,mengambil jatah rizki yang telah disediakan oleh Tuhan. Sementara di atas luasnya permukaan Samudra terlihat dua bocah tangguh mendayung perahu.
Perlahan tetapi pasti, ayunan-ayunan lengannya seakan memberi makna sebuah perjuangan yang tak mudah. Mendayung.., terus mendayung, hingga saat matahari mulai naik, terlihat butiran butiran keringat di pelipis dan di permukaan kulit tangan kekar mereka. Tapi harapan membuat mereka menjadi kuat, tangguh dan pantang menyerah.
Tak terasa senja telah tiba, sementara tempat yang hendak mereka tuju masih separo perjalanan lagi. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah pulau tak berpenghuni yang terletak di tengah-tengah antara tempat mereka berasal dan tempat yang mereka tuju. Mereka turun dari perahu, mengangkat sebagian bekal makanan yang mereka bawa ke daratan pulau itu. Beristirahat menghilangkan rasa lelah dan menyantap bekal makanan yang mereka bawa. Hingga akhirnya mereka ketiduran. Dan saat mereka terbangun, mereka terkejut, cemas karena perahu mereka tak ada di tempatnya. Mereka terdampar.
Seminggu telah berlalu, bekal makanan yang ada tak lagi tersisa. Sementara di tempat mereka terdampar tak ada buah-buahan, tak ada binatang buruan dan tak ada bahan makanan lainya. Mereka hanya mengisi perut mereka dengan air. Tiga hari kemudian Somad tak lagi mampu menahan rasa lapar, hingga ia berkata kepada sahabatnya:
“Hai Badrun sahabatku, sesungguhnya aku takut jikalau rasa lapar ini membuat buta mata hatiku sehingga aku tega membunuh dan menyantap dagingmu. Atau kita mungkin akan bertarung memperebutkan makanan jika suatu saat nanti kita menemukannya. Bagaimana jika mulai saat ini kita berpisah? Silahkan kau pilih!!! Bagian barat pulau ini yang lebih dekat dengan tempat yang kita tuju atau bagian timur pulau ini yang lebih dekat dengan tempat kita berasal!!”
“Jika itu maumu baiklah, aku pilih bagian timur pulau ini.” Pilih Badrun.
Merekapun berpisah.
Saat melangkahkan kaki yang pertama Badrun berdoa semoga jalan yang dipilihnya adalah jalan yang benar. Kemudian ia terus melangkah, ke timur.., terus ke timur. Hingga saat malam tiba ia merasa sangat kedinginan, dan ia berdoa, karena ia yakin dengan doa hal yang tak mungkin bisa terjadi, sesuatu yang sulit bisa menjadi mudah dan yang tak ada bisa menjadi ada. Ia sangat percaya dengan kekuatan doa, hingga ia tak pernah berputus asa dalam berdoa seperti Zakariya yang tak pernah berputus asa, berdoa agar dirinya diberikan keturunan yang baik yang dapat meneruskan perjuanganya. Saat itu Badrun berdoa:
“Ya Alloh, sungguh kulitku tak lagi mampu menahan rasa dingin. Tunjukanlah aku tempat yang dapat membuatku terlindung dari rasa dingin ini!”
Tak jauh dari tempat ia berdoa, ia menemukan sebuah pohon besar. Di bawah pohon besar itulah ia berlindung dan beristirahat dengan membangun bifak(gubug kecil yang terbuat dari dedaunan). Dan saat pagi tiba ia kembali meneruskan perjalanan. Baru beberapa meter ia melangkahkan kakinya tiba-tiba perutnya terasa melilit tak tertahankan, hingga ia kembali berdoa:
“Ya Alloh, limpahkanlah rizki-Mu padaku! Tunjukkanlah aku pada tempat yang dipenuhi dengan makanan!”
Kembali ia melangkahkan kakinya, ke timur.., terus ke timur. Dan tiba-tiba ia menemukan sebuah tempat yang dipenuhi dengan buah-buahan, binatang buruan dan jenis makanan lainnya. Tiga hari ia menetap di tempat tersebut, kemudian ia kembali meneruskan perjalanan dengan membawa bekal makanan sebanyak mungkin. Kali ini ia mengawali langkahnya dengan berdoa:
“Ya Alloh, Tunjukanlah aku jalan kembali! Biarkanlah aku hidup seperti manusia lainya, bertempat tinggal dan bermasyarakat!”
Ke timur.., dan terus ke timur.
Semak belukar, tanah berbatu, tanjakan dan turunan telah ia lewati. Akhirnya ia sampai di tepi pulau itu. “Subhanalloh” Ternyata perahu mereka yang hilang ada tepat di depannya. Ia sangat gembira. Segera ia menaikinya dan mendayungnya ke arah timur terapung di atas luasnya samudra. Tetapi, tiba-tiba saja ia menghentikan perahunya saat ia mendengar suara dari langit.
“Hai Badrun, kenapa kau tinggalkan Somad, bukankah ia sahabatmu?” Suara dari langit.
“Kenapa aku harus membawanya bersamaku, bukankah apa yang aku dapatkan semenjak aku berpisah dengannya adalah dari dikabulkannya doa-doaku?” Kata Badrun.
“Engkau salah, apa yang kau dapat selama ini adalah dari dikabulkannya doa Somad, sahabatmu. Apa kau tahu, bahwa saat pertama kali melangkahkan kaki saat berpisah denganmu ia berdoa: “Ya Alloh, lindungilah Badrun sahabatku! Dan tunjukkanlah ia jalan yang benar!” Dan saat ia kedinginan di malam hari ia berdoa: “ Ya Alloh, jangan biarkan Badrun sahabatku kedinginan seperti apa yang aku rasakan” Kemudian saat ia kelaparan ia berdoa: “Ya Alloh, tak apa aku kelaparan di sini, tapi kumohon pada-Mu, jangan biarkan Badrun sahabatku kelaparan di sana.” Ia terus saja mengingatmu dan terus mendoakanmu, tapi mengapa engkau meninggalkannya?” Suara dari langit.
“Astaghfirulloh.., Astaghfirulloh.., Astaghfirullohal'adzim…” Tubuh Badrun bergetar, ia menangis, persaan bersalah membebani punggungnya, hingga seluruh tubuhnya bergetar tak mampu menahannya.
Kemudian ia kembali ke pulau itu hendak menjemput sahabatnya. Tapi terlambat, sahabatnya kini tak lebih dari sekedar tubuh yang tak bernyawa, tergeletak membatu di atas tanah. Kembali ia menangis.., menyesal.., ia berteriak histeris. Tapi percuma sekeras apapun ia berteriak,nyawa sahabatnya tak akan mendengar, dan tak akan kembali. Tak ada pilihan lain kecuali menguburkan mayat sahabatnya dan kembali meneruskan perjalanan mewujudkan harapan-harapan mereka berdua.
“SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG MU’MIN ITU BERSAUDARA,……” (QS 49:10)
”TIDAKLAH BERIMAN SEORANG DI ANTARA KAMU SEKALIAN SEBELUM IA MENCINTAI SAUDARANYA SEBAGAIMANA IA MENCINTAI DIRINYA SENDIRI.” (HR. IMAM BUKHARI)
Foto Pertama di Dunia
Foto pertama di dunia diambil oleh seorang penemu dari Perancis, Joseph Nicephore Niepce pada tahun 1826 di suatu siang di musim panas. Foto pertama di dunia ini memakan waktu 8 jam untuk dicuci cetak. Anehnya, foto tersebut kini 'berdomisili' di sebuah universitas di Amerika Serikat: The University of Texas sejak tahun 1964.
Janji Hambali
Jauh di sebuah IQU yang dangkal ,tepatnya di sebuah Kerajaan "Khayalan Priawan" hiduplah seorang Raja Zalim yang selalu menyiksa rakyatnya.Keadaan ini membuat seorang lelaki bernama Hambali dan kawan-kawannya melakukan pemberontakan.Sudah beberapa kali Sang Raja memerintahkan Pasukannya untuk menangkap atau menghancurkan Kelompok Pemberontak ini. Akan tetapi mereka tak pernah Berhasil.Mereka selalu kembali dengan membawa kekalahan.Hingga akhirnya Sang Raja mengadakan sebuah sayembara,bahwa siapa sja yang dapat membawa kepala Hambali Sang Pemimpin Pemberontak kepada Raja akan diberikan hadiah 100 kantong Emas.
Matahari terlihat cerah di bawah birunya langit.suara pedagang menawarkan barang seprti nyayian katak di musim hujan.Hambali yang sedang berjalan -jalan di Pasar tiba-tiba di Hentikan oleh seorang lelaki bertubuh besar,"Syam'un"namanya.
Syam'un: "Hai...bukankah Enkau Hambali yang sedang dicari oleh Raja"
"Sesungguhnya Aku akan kaya..,jika aku bisa memmbawa kepalamu pada Sang Raja."
Mereka berduapun bertarung:"cring...cring...cring" Kurang lebih seprti itu bunyi pedang Mereka.(he....).Hingga akhirnya kemenangan berpihak pada Syam'un.
Hambali:"ya Syam'un..,aku terima kekalahanku, sebelum kau memenggal kepalaku, kabulkanlah satu permintaanku."
Syam'un:"Hahahahahhhh...,Apa kau ingin agar aku mengampunimu..???"
Hambali:"bukan!!tapi izinkanlah aku menemuianakku untuk memenuhi janjiku membelikan sepatu baru untuknya."(cz anaknya mau masuk kelas baru)
Syam'un:"Hahahahahhhh...,bagaimana aku bisa mempercayaimu..???"
Hambali:"Percayalah..!!! Insya Alloh engkau dapati aku seorang yang menepati janji."
Syam'un:"Baiklah.. kupegang janjimu..,semua orang di pasar ini menjadi saksinya..."
setelah beberapa jam Syam'un menunggu( Jamnya mungkin masih pakaai jam Pasir..,ya begitulah..) Hambali pun akhirnya datang.
Syam'un:"Hahahahahh....Sebodoh apa kau ini, bukankah Engkau akan selamat jika engkau tak kembali kemari."
Hambali:"Benar...!!! mungkin aku akan selamat di Dunia..,Mungkin aku akan terhindar dari tajamnya pedangmu..Tapi aku akan celaka di Akhirat karena mengingkari janjiku .Dan aku takan terhindar dari Siksa-Nya. Sekarang penggalah kepalaku dan bawalah kepada sang Raja.!!"
Syam'un:Hahahahhh...bukan kepalamu saja yang akan kubawa ke Kerajajan., tapi seluruh tubuhmu..utuh..,tanpa cacat sedikitpun.Bukan sebagai tawanan tetapi sebagai calon Raja. Wahai para penghuni Pasar ...,setujukah kalian jika Hambali menjadi Raja kalian..!!!!!"
"SEtuju...!!!!!":jawab mereka serempak.
karena saya sudah capai nulisnya...Cerita pun sampai pada episode Akhir.., dimana Hmbali menjadi seorang Raja yang bijaksana , yang mencintai Rakyatnya dan di cintai rakyatnya....
Mungkin cerita ini hanya cerita ngawur...tapi Insya Alloh Ada Pelajaran berharga di dalamnya...
he,,,,,,,
Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad saw berasal dari kabilah Quraisy, tepatnya keturunan Hasyim. Ayah beliau adalah Abdullah bin Abdul Muthalib, cucu Hasyim. Ibunda beliau adalah Aminah binti Wahb yang berasal dari keturunan Bani Zuhrah, salah satu kabilah Quraisy.
Setelah menikah, Abdullah melakukan pepergian ke Syam. Ketika pulang dari pepergian itu, ia wafat di Madinah dan dikuburkan di kota itu juga.
Setelah beberapa bulan dari wafatnya sang ayah berlalu, Nabi pamungkas para nabi lahir di bulan Rabi’ul Awal, tahun 571 Masehi di Makkah, dan dengan kelahirannya itu, dunia menjadi terang-benderang. Sesuai dengan kebiasaan para bangsawan Makkah, ibundanya menyerahkan Muhammad kecil kepada Halimah Sa’diyah dari kabilah Bani Sa’d untuk disusui. Beliau tinggal di rumah Halimah selama empat tahun. Setelah itu, sang ibu mengambilnya kembali.
Dengan tujuan untuk berkunjung ke kerabat ayahnya di Madinah, sang ibunda membawanya pergi ke Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Makkah, ibundanya wafat dan dikebumikan di Abwa`, sebuah daerah yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah ibunda beliau wafat, secara bergantian, kakek dan paman beliau, Abdul Muthalib dan Abu Thalib memelihara beliau. Pada usia dua puluh lima tahun, beliau menikah dengan Khadijah yang waktu itu sudah berusia empat puluh tahun. Beliau menjalani hidup bersamanya selama dua puluh lima tahun hingga ia wafat pada usia enam puluh lima tahun.
Pada usia empat puluh tahun, beliau diutus menjadi nabi oleh Allah. Ia mewahyukan kepada beliau al-Quran yang seluruh manusia dan jin tidak mampu untuk menandinginya. Ia menamakan beliau sebagai pamungkas para nabi dan memujinya karena kemuliaan akhlaknya.
Beliau hidup di dunia ini selama enam puluh tiga tahun. Menurut pendapat masyhur, beliau wafat pada hari Senin bulan Shafar 11 Hijriah di Madinah.
Bukti Kenabian Rasulullah saw
Secara global, kenabian seorang nabi dapat diketahui melalui tiga jalan:
1. Pengakuan sebagai nabi.
2. Kelayakan menjadi nabi.
3. Mukjizat.
Pengakuan Sebagai Nabi
Telah diketahui oleh setiap orang bahwa Rasulullah saw telah mengaku sebagai nabi di Makkah pada tahun 611 M., masa di mana syirik, penyembahan berhala dan api telah menguasai seluruh dunia. Hingga akhir usia, beliau selalu mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, dan sangat banyak sekali di antara mereka yang mengikuti ajakan beliau itu.
Kelayakan Menjadi Nabi
Maksud asumsi di atas adalah seorang yang mengaku menjadi nabi harus memiliki akhlak dan seluruh etika yang terpuji, dari sisi kesempurnaan jiwa harus orang yang paling utama, tinggi dan sempurna, dan terbebaskan dari segala karakterisitik yang tidak terpuji. Semua itu telah dimiliki oleh Rasulullah saw. Musuh dan teman memuji beliau karena akhlaknya, memberitakan sifat-sifat sempurna dan kelakuan terpujinya dan membebaskannya dari setiap karakterisitik yang buruk.
Kesimpulannya, akhlak beliau yang mulia, tata krama beliau yang terpuji, perubahan dan revolusi yang beliau cetuskan di seanterao dunia, khususnya di Hijaz dan jazirah Arab, dan sabda-sabda beliau yang mulia berkenaan dengan tauhid, sifat-sifat Allah, hukum halal dan haram, serta nasihat-nasihat beliau telah membuktikan kelayakan beliau untuk menduduki kursi kenabian, dan setiap orang yang insaf tidak akan meragukan semua itu.
Mukjizat
Mukjizat dapat disimpulkan dalam lima hal:
1. Mukjizat akhlak.
2. Mukjizat ilmiah.
3. Mukjizat amaliah.
4. Mukjizat maknawiyah.
5. Mukjizat keturunan.
Mukjizat Akhlak
Sejak masa muda, Nabi Muhammad saw telah dikenal dengan kejujuran, amanat, kesabaran, ketegaran, dan kedermawanan. Dalam kesabaran dan kerendahan diri beliau tidak memiliki sekutu dan dalam kemanisan etika beliau tak tertandingi. “Sesungguhnya engkau berada di puncak akhlak yang agung.” Dalam memaafkan, beliau tak ada taranya. Ketika mendapatkan gangguan dan cemoohan masyarakatnya, beliau hanya berkata اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”Beliau selalu mengharapkan kebaikan seluruh umat manusia, penyayang dan belas-kasih terhadap mereka. “Ia belas-kasih dan pengasih terhadap Mukminin.”
Beliau tidak pernah menyembunyikan keceriaan wajah terhadap para sahabat dan selalu mencari berita tentang kondisi mereka. Beliau selalu memberikan tempat khusus kepada orang-orang baik di sisi beliau. Orang yang paling utama di sisi beliau adalah orang yang dikenal dengan kebajikanya terhadap Muslimin dan orang yang termulia adalah orang yang lebih bertindak toleran dan tolong-menolong terhadap umat Islam. Beliau tida pernah duduk dan bangun (dari duduk) kecuali dengan menyebut nama Allah dan mayoritasnya, beliau duduk menghadap ke arah Kiblat. Beliau tidak pernah menentukan tempat duduk khusus bagi dirinya. Beliau memperlakukan masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka merasa dirinya adalah orang termulia di sisi beliau. Beliau tidak banyak berbiacara dan tidak pernah memotong pembicaraan seseorang kecuali ia berbicara kebatilan.
Beliau tidak pernah mencela dan mencerca seseorang. Beliau tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain. Budi pelerti beliau yang menyeluruh telah meliputi seluruh umat manusia. Beliau selalu sabar menghadapi perangai buruk bangsa Arab dan orang-orang yang asing bagi beliau. Beliau selalu duduk di atas tanah dan duduk bersama orang-orang miskin serta makan bersama mereka. Dalam makan dan berpakaian, beliau tidak pernah melebihi rakyat biasa. Setiap berjumpa dengan seseorang, beliau selalu memulai mengucapkan salam dan berjabat tangan dengannya. Beliau tidak pernah mengizinkan siapa pun berdiri (untuk menghormati)nya. Beliau selalu menghormati orang-orang berilmu dan berakhlak mulia. Dibandingkan dengan yang lain, beliau lebih bijaksana, sabar, adil, berani dan pengasih. Beliau selalu menghormati orang-orang tua, menyayangi anak-anak kecil dan membantu orang-orang yang terlantar. Sebisa mungkin, beliau tidak pernah makan sendirian. Ketika beliau meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan sekeping Dinar dan Dirham pun.
Keberanian beliau sangat terkenal sehingga Imam Ali as pernah berkata: “Ketika perang mulai memanas, kami berlindung kepada beliau.”
Rasa memaafkan beliau sangat besar. Ketika berhasil membebaskan Makkah, beliau memegang pintu Ka’bah seraya bersabda (kepada musyrikin Makkah): “Apa yang kalian katakan dan sangka sekarang?” Mereka menjawab: “Kami mengatakan dan menyangka kebaikan (terhadapmu). Engkau adalah seorang pemurah dan putra seorang pemurah. Engkau telah berhasil berkuasa terhadap kami. Engkau pasti mampu melakukan apa yang kau inginkan.” Mendengar pengakuan mereka ini, hati beliau tersentuh dan menangis. Ketika penduduk Makkah melihat kejadian itu, mereka pun turut menangis. Setelah itu beliau bersabda: “Aku mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh saudaraku Yusuf bahwa ‘Tiada cercaan bagi kalian pada hari ini. Allah akan mengampuni kalian, dan Ia adalah Lebih Pengasih dari para pengasih’.” (QS. Yusuf: 92) Beliau memaafkan seluruh kriminalitas dan kejahatan yang pernah mereka lakukan seraya mengucapkan sabda beliau yang spektakuler: “Pergilah! Kalian bebas.”
Mukjizat Ilmiah
Dengan merujuk kepada buku-buku yang memuat sabda, pidato dan nasihat-nasihat beliau secara panjang lebar, mukjizat ilmiah beliau ini dapat dipahami dengan jelas.
Mukjizat Amaliah
Dapat diakui bahwa seluruh perilaku beliau dari sejak lahir hingga wafat adalah sebuah mukjizat. Dengan sedikit merenungkan kondisi dan karakteristik masyarakat Hijaz, khususnya masyarakat kala itu, kemukjizatan seluruh perilaku beliau akan jelas bagi kita. Beliau bak sebuah bunga yang tumbuh di ladang duri. Beliau tidak hanya tidak terpengaruh oleh karakteristik duri-duri itu, bahkan beliau berhasil merubahnya. Beliau tidak hanya terpengaruh oleh kondisi kehidupan masyarakat kala itu, bahkan beliau berhasil mempengaruhi gaya hidup mereka.
Dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, beliau telah berhasil melakukan empat pekerjaan besar dan fundamental meskipun banyak aral melintang dan problema yang melilit. Masing-masing pekerjaan itu dalam kondisi normal semestinya memerlukan usaha bertahun-tahun untuk dapat tegak berdiri sepanjang masa. Keempat pekerjaan besar itu adalah sebagai berikut:
Pertama, berbeda dengan agama-agama yang sedang berlaku pada masa beliau, beliau mendirikan sebuah agama baru yang bersifat Ilahi. Beliau telah berhasil menciptakan banyak orang beriman kepada agama tersebut sehingga sampai sekarang pun pengaruh spiritual beliau masih kuat tertanam di dalam lubuk hati ratusan juta pengikutnya. Menjadikan seseorang taat adalah sebuah pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, menundukkan hati masyarakat, itu pun sebuah masyarakat fanatis dan bodoh tanpa syarat dan menjadikan mereka taat dari lubuk hati bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Kedua, dari kabilah-kabilah berpecah-belah yang selalu saling bermusuhan dan memiliki hobi berperang, beliau berhasil sebuah umat yang satu dan menjalin persaudaraan, persamaan, kebebasan dan kesatun kalimat dalam arti yang sebenarnya di antara mereka. Setelah beberapa tahun berlalu, beliau berhasil membentuk sebuah umat yang bernama umat Muhammad saw. Hingga sekarang umat ini masih eksis dan terus bertambah.
Ketiga, di tengah-tengah kabilah yang berpecah-belah, masing-masing memiliki seorang pemimpin, biasa melakukan pekerjaan secara tersendiri dan tidak pernah memiliki sebuah pemerintahan yang terpusat itu, beliau berhasil membentuk sebuah pemerintahan yang berlandaskan kepada kebebasan dan kemerdekaan yang sempurna. Dari sisi kekuatan dan kemampuan, pemerintahan ini pernah menjadi satu-satunya pemerintahan mutlak di dunia setelah satu abad berlalu.
Beliau pernah menulis enam surat dalam satu hari kepada para raja penguasa masa itu dan mengajak mereka untuk memeluk Islam, raja-raja yang menganggap diri mereka berada di puncak kekuatan dan meremehkan kaum Arab.
Ketika surat beliau sampai ke tangan raja Iran dan melihat nama beliau disebutkan di atas namanya, ia marah seraya memerintahkan para suruhannya untuk pergi ke Madinah dan membawa Muhammad ke hadapannya.
Ya! Para raja itu berpikir bahwa bangsa Arab adalah sebuah bangsa yang tidak akan menunjukkan reaksi apa pun di hadapan pasukan kecil seperti bala tentara Habasyah. Bahkan, mereka akan lari tunggang-langgang meninggalkan Makkah dan kehidupan mereka, serta berlindung ke gunung-gunung. Mereka tidak dapat memahami bahwa bangsa Arab telah memiliki seorang pemimpin Ilahi dan mereka bukanlah bangsa Arab yang dulu lagi.
Keempat, dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, beliau telah menetapkan dan menunjukkan sederetan undang-undang yang mencakup seluruh kebutuhan umat manusia. Undang-undang ini akan tetap kekal hingga hari Kiamat, dan mempraktikkannya dapat mendatangkan kebahagiaan umat manusia. Undang-undang ini tidak akan pernah layu. “Kehalalan Muhammad adalah halal selamanya hingga hari Kiamat dan keharamannya adalah haram selamanya hingga hari Kiamat.”[1] Undang-undang ini akan selamanya hidup kekal. Di hauzah-hauzah ilmiah selalu dibahas dan didiskusikan oleh para fuqaha besar dalam sebuah obyek pembahasan fiqih, Furu’uddin dan kewajiban amaliah.
Mukjizat Ma’nawiyah
Mukjizat abadi beliau adalah al-Quran yang telah turun kepada beliau dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dari sejak saat itu hingga sekarang selalu mendapatkan perhatian dan penelaahan dari berbagai segi oleh seluruh masyarakat dunia. Kitab ini berhasil membangkitkan rasa heran para ilmuan dan sepanjang masa masih memiliki kekokohan dan kedudukannya yang mulia. Kitab ini terselamatkan dari segala bentuk tahrif, pengurangan dan penambahan. Ratusan tafsir dan buku tentang hakikat arti dan kosa katanya telah ditulis. Allah telah menjamin keterjagaannya dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Kami-lah yang telah menurunkan al-Quran ini dan Kami pulalah yang akan menjaganya.”
Mukjizat Keturunan
Salah satu mukjizat beliau yang lain adalah keturunan suci beliau yang terjaga dari dosa. Hanya kedudukan tinggi kenabianlah yang mampu menghaturkan putri-putri dan para imam ma’shum seperti ini kepada masyarakat. Seseorang yang sadar dengan memperhatikan ilmu, kehidupan, ucapan dan perilaku Ahlubait as akan mengakui bahwa setiap dari mereka, sebagaimana al-Quran, adalah dalil tersendiri atas kenabian Rasulullah saw. Seandainya tidak ada dalil lain untuk membuktikan kenabian Rasulullah saw kecuali keberadaan keturunan semacam itu, hal itu sudah mencukupi dan hujjah sudah sempurna. Pembahasan panjang-lebar tentang masalah ini tidak relevan untuk kesempatan pendek ini.
KARAKTER DAN KEUTAMAAN RASULLULLAH SAW
Salah satu karekter rasulullah saw yang paling menonjol adalah kemenangan tidak menjaga kan dia bangga hal ini bisa kita lihat diperang badar dan pembebasan kita makkah(fathu makkah) dan kekalahan tidak membuat dia putus asa dapat kita lihat pristiwa perang uhud bahkan dengan cekatan is mempersiapkan pasukan baru untuk menghadapi hamru"ul asad dan pengingkari perjanjian yang dilakukan kaum yahudi bani quraizah ,dan kewaspadaan beliau,selalu mengedek kekuatan musuh dengan teliti dan mempersiapkan segalanya.
Dia memperlakukan kaum dan pengikutnya dengan tujuan mempererat silaturrahmi dan selalu menamamkan rasa percaya diri dalam mereka is selalu mengasihi anak anak kecil dan mengayomi mereka.berbuat baik dengan fakir miskin dan terhadap hewan dia selalu menanamkan rasa kasih sayang dan melarang untuk menyakiti binatang
Salah satu contoh rasa prikemanusian rasul saw adalah ketika mengutus pasukan untuk berperang dengan musuh dia selalu berpesan tidak boleh menyerang kaum sipil,dia lebih memilih damai terhadap musuh dari pada berperang ketika berperang dia berpesan tidak boleh membunuh lanjut usia anak kecil perempuan dan mengniaya musuh yang sudah tidak berdaya
Ketika kaum quraisi minta suaka politik kepadanya ia tidak memberlakukan baikot ekonomi bahkan ia menyepakati import gandum dari yaman
Ia juga menyerukan realisasikan sebuah perdamaian dunia dan melarang peperanga kecuali hal yang darurat
USAHA RASUL SAW DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT &BERPRIKEMANUSIAN
Kedatangan rasul adalah sebuah rahmat bagi manusia semuanya is tidak pernah membedakan seseorang pun baik itu kulit putih atau kulit hitam dan dari suku bangsa mana,karma semua manusia itu makan dari rizki allah yang diberikan allah
Rasul saw mengajak manusia untuk
1:meningkatkan harkat martabat manusia ia bersabda semua manusia berasil dari adam dan ia berasal dari tanah
2: mengajak damai sebelum perang
3: memaafkan sebelom membalas
4: mempermudah seseorang sebelom membalas perbuatan
dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa peperangan yang dilaksanakan bertujuan untuk merealisasikan tujuan tujuan insani yang agung dan menuju kepada tatanan masyarakat yang berprikemanusian
ia telah membuktikan bahwa dirinya adalah sebuah rahmat bagi manusia dan alam semesta peristiwa itu bisa dilihat dari pembebasan kota makkah dangan segala kemenangan yang telah digapai saat itu ia tetap berbuat baik dengan musuh dan enggan untuk membalas dendam padahal ia dapat melaksanakan ia pernah memaafkan mereka dengan sabda"pergilah kalian karma kalian sekarang sudah bebas pada waktu perang dzatur riqa dia berasil menangkap pemimpin gauts bin al harits yang berusaha beberapa kali membunuh beliau akan tetapi tetap dimaafkan
rasul memperlakukan tawanan perang dengan baik ,ia telah membebaskan seorang tawanan perang dengan tangan dia sendiri disaat ia mendengar keluhan rasa sakit tangannya diikat.
RASUL SEBAGAI PANGLIMA PERANG
Kita bisa lihat keberasilan beliau dalam memenangkan peperangan dan menciptakan perdamaian dan mengujudkan manusia yang berakhlak dan memimpin pasukan dengan gagah berani
TATA KRAMA BERGAUL
Beliau tidak pernah sombong dalam pergaulan selalu tersenyum berbuat baik sesame manusia selalu menyenguk orang sakit tidak pernah memotong pembicaraan lawan tidak pernah mengangap dirinya mulia dari teman yang diajak bicara.Masih banyak lagi sipat2 rasul yang kita bisa dapat teladani.. mudah2an kita bisa dapat meniru akhlak rasulullah amin....
Detik-detik Sakaratul Maut Rasulullah SAW
Inilah bukti cinta yang sebenar-benarnya tentang cinta, yang telah dicontohkan Allah SWT melalui kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Rasulullah dengan suara lemah memberikan kutbah terakhirnya, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, al-Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
“Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah.
“Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut telah datang menghampiri. Rasulullah pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi, semua penjelasan Jibril itu tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak, sepeninggalanku?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril meyakinkan.
Detik-detik kian dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan-lahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya, sakaratul maut ini.” Perlahan terdengar desisan suara Rasulullah mengaduh.
Fatimah hanya mampu memejamkan matanya. Sementara Ali yang duduk di sampingnya hanya menundukan kepalanya semakin dalam. Jibril pun memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku, hingga engkau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril sambil terus berpaling.
Sedetik kemudian terdengar Rasulullah memekik kerana sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku,” pinta Rasul pada Allah.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii?” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran kemuliaan itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya. Seperti Allah dan Rasul mencintai kita semua. mudah mudahan kita berusaha untuk bisa menjadikan nabi muhammad sebagai huswatun hasanah dalam kehidupan kita amin
Referensi :
www.zainurie.wordpress.com
www.masjid.phpbb24.com
www.kaskus.us/showthread.php?t=7341229